Is School Like A Prison?




Saat matahari tengah beranjak ke peraduan, terlihat konvoi motor oleh segerombolan seragam putih abu-abu yang penuh corat-coret tinta berwarna-warni turut serta memadati jalan raya. Hal tersebut pun serentak terjadi di segala penjuru tanah air, baik di kota ataupun desa. Muda-mudi itu seakan kompak ingin menunjukkan kebahagiaan dan kebebasan yang mereka alami  dengan semua orang yang ditemui. Atau mungkin mereka ingin diaku dewasa dan matang untuk mengambil keputusan dalam hidupnya. Atau entahlah apa yang ada dibenak para remaja itu sehingga mereka selalu latah mengikuti tradisi kurang baik itu dari tahun ke tahun.
Setelah pengumuman kelulusan Ujian Nasional selesai dibacakan untuk siswa tingkat Sekolah Menengah Atas. Sorak ria jelas mewarnai ribuan hati para siswa dan hal inilah yang mungkin ditunggu oleh mereka untuk merayakan berakhirnya masa sekolah. Merayakan kemerdekaan yang selama ini mereka impikan. Bebas dari ruang-ruang kelas yang membelenggu mereka selama kurang lebih dua belas tahun, harus berseragam, dipaksa mematuhi semua aturan, disuruh  diam dan menerima semua perlakuan yang diberikan. Siswa juga kerap menjadi sasaran kurikulum dan menjadi ajang uji coba berbagai kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan. Maka dari itu sekolah sering diidentikkan dengan penjara.
Sekolah kita memang belum menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak. Masih ditemui beberapa siswa yang enggan bangun pagi untuk pergi sekolah, malas mengerjakan PR atau tugas sekolah, jenuh dengan segala rutinitas di sekolah, bosan kena marah guru, dan alasan lain yang semakin membuat siswa tidak betah di sekolah. Beberapa siswa bahkan izin dari rumah untuk pergi ke sekolah, namun tak pernah sampai di sekolah. Hal ini yang mengakibatkan beberapa kenakalan remaja yang kerap kita jumpai yaitu diantaranya sekelompok anak yang merokok di pinggir jalan atau gang, bermain Playstation atau game online di warnet, menonton video porno, terjerumus narkoba, miras dan lain-lain.
Berbagai formula sistem Pendidikan yang diracik untuk perbaikan kualitas pendidikan belum juga menunjukkan dampak yang berarti. Siswa kerap merasa dijejali banyak materi pelajaran yang semestinya dapat disederhanakan. Tahun 2013 lalu, ada seorang murid yang menantang menteri Pendidikan pada saat itu yaitu M. Nuh untuk mengerjakan Ujian Nasional dengan berbagai mata pelajaran dan dituntut mencapai skor minimum untuk kelulusan. Apa yang dilakukan siswa tersebut termasuk sikap kritis untuk menggugat betapa tidak masuk akalnya sistem Ujian Nasional yang dapat menghakimi kecerdasan seseorang lewat puluhan soal tersebut.
School isn’t like a Prison, Sekolah adalah tempat berbagai pengetahuan berbaur dan saling bekerjasama membangun manfaat untuk kehidupan. Di dunia ini tidak ada dikotomisasi ilmu pengetahuan. Misal, ilmu Biologi harus bertemu dengan ilmu Matematika dan Sosial untuk memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi. Seorang arsitek tentu harus mendengar pakar lingkungan untuk menentukan pembangunan gedung dalam suatu wilayah. Pendidikan kita masih saja mengkotakkan pengetahuan berdasarkan ranking, bukan pada implementasi manfaat pada kehidupan. Pada penerapan pendidikan dasar di sekolah, guru masih menganggap murid yang pandai adalah mereka yang jago dalam matematika. Sehingga peran ilmu sosial dinafikan dalam struktur pendidikan kita. Padahal kita tahu penerapan sains perlu menggunakan pendekatan sosial dalam implementasinya.
Secara keseluruhan, sistem pendidikan kita masih perlu perbaikan dari berbagai sisi. Kita telah lama mengenal adanya multiple intelegences namun, pendidikan kita belum mengakomodir sistem pembelajaran serta penilaian yang bisa mengukur dan mengembangkan multiple intelegences tersebut. Sehingga siswa masih dihakimi dengan dikotomi sebagai berikut, siswa yang pintar berhitung dengan yang tidak, pandai ilmu sains dengan yang tidak, pandai hafalan dengan yang tidak dan lain-lain. Tanpa menggali kemampuan dan bakat terpendam dari seorang siswa. Hal seperti inilah yang begitu menyiksa dan memenjarakan kreatifitas siswa, sehingga dirinya dianggap tidak pintar dan kemampuannya juga tidak berkembang.

Berkaca dari peringatan hari Pendidikan Nasional, 2 Mei kemarin, sudahkah wajah pendidikan nasional kita berangsur membaik? Perlu dikaji dan dipahami bersama bahwa setiap anak dilahirkan dengan bakat dan kemampuan yang beragam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Einsten, Everybody is a genius, but if you judge a fish by its ablity to climb a tree it will live its whole life believing that its stupid. Sungguh, hal demikian yang perlu dicermati bersama oleh para pendidik, guru dan pihak yang berwenang merumuskan sistem pendidikan di tanah air. Bagaimana seharusnya sekolah kita dirindukan oleh siswa setiap hari? Bagaimana seharusnya seorang guru memandang semua siswa sama dan adil bahwa semuanya adalah jenius di bidangnya masing-masing? Bagaimana seorang siswa dapat memperoleh lingkungan belajar yang kondusif sehingga kenakalan remaja berubah menjadi kreatifitas yang dapat disalurkan sesuai bidangnya?

-HSC- 

Komentar

  1. Terimakasih bu atas karyanya...😊alhamdulillah jadi nambah wawasannya 😄

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fieldtrip: Eksistensi atau Esensi?

5 Idioms To Use In Your Writing