Mau Kota Metro-polutan?


Kota adalah pengejawantahan artefak urban yang komprehensif, mengakar dan berkait kelindan dengan budaya masyarakat itu sendiri. Semakin besar suatu kota, maka semakin besar pula permasalahan yang dihadapi. Ketimpangan ekonomi yang menganga antara desa dan kota menyebabkan arus deras urbanisasi semakin menyumbang permasalahan kota menjadi kompleks. Munculnya degradasi lingkungan, ketidaktersediaan pemukiman atau perumahan, minimnya ruang publik, diperparah dengan amburadulnya sarana dan prasarana sistem transportasi menyebabkan kota semakin semrawut.
Dewasa ini, ada banyak sekali konsep pengembangan kota yang digulirkan dan digaungkan. Mulai dari kota hijau (green city), kota pintar (smart city), compact city, megacity, kota satelit/baru dan lain-lain. Dari kesemua konsep itu, hal utama yang diinginkan dari sebuah kota adalah kota yang nyaman dan layak huni (livable city) untuk semua orang.
Senada dengan D. Hahlweg (1997) “A Livable City is a city where I can have a healthy life and where I have the chance for easy mobility. The Livable City is a city for all people, safe for our children, and for our older people. For the children and elderly people it is especially important to have easy access to areas with green, where they have a place to play and meet each other, and talk with each other.  Sehingga kota yang layak huni seharusnya adalah kota yang nyaman untuk dihuni oleh semua kalangan/semua umur, semua strata sosial dan lain-lain tak terkecuali.
Kota Metro, merupakan salah satu kota kecil di Provinsi Lampung dengan total luas wilayah kurang lebih 68,74 km2  di mana keadaan kota tersebut cukup nyaman untuk dihuni, walaupun masih perlu banyak perbaikan menuju kota hijau. Apalagi menimbang sustainability, kota Metro perlu segera berbenah setidaknya menurut Herman Dally (1992), terdapat tiga pilar yang harus di-hijaukan yaitu green environment, green society dan green economy.
Pertama, hal yang perlu dibenahi adalah lingkungan, karena lingkungan yang baik akan  mempengaruhi keadaan masyarakat dan perekonomian. Bukankah kota adalah lingkungan yang dibuat dalam kurun waktu yang lama ? Maka dari itu diperlukan usaha yang kontinuitas dan berkelanjutan. Karena  faktanya, kota Metro masih memiliki kekurangan dalam pemeliharaan lingkungan. Semisal dengan tercecernya polutan-polutan di beberapa sudut kota, di perairan dan kalaupun dikumpulkan akan menumpuk menyerupai candi di tempat pembuangan akhir (TPA).  
Semua warga masih menyumbang polutan dan merasa jika polutan tersebut tidak berada di dalam rumahnya maka hal tersebut bukanlah tanggungjawab mereka. Bukankah akan lebih baik jika siklus hayati semua warga berhenti hanya di dalam rumahnya? Sebagai contoh hal sederhana yang dapat dilakukan di rumah, misalnya: sampah dari sisa makanan, serasah daun dapat digunakan kembali untuk pupuk kompos. Dan meminimalisir penggunan plastik (diet plastik), karena sampah plastik susah terurai dan menyumbang emisi karbon ketika dibakar. Jika hal sederhana tersebut dilakukan secara jamaah dari tiap rumah maka timbunan candi sampah di TPA akan berkurang lambat laun.
Kota Metro belum memiliki taman biodiversitas/keanekaragaman hayati yang sekaligus dapat menjadi bank plasma nutfah, sarana pembelajaran dan konservasi habitat. Dan ruang terbuka hijau yang masih minim pemeliharaan semisal taman Mulyojati dan dam Raman. Belum adanya transportasi massal sebagai pengganti kendaraan pribadi yang juga menyumbang emisi karbon dan kemacetan kota Metro. Belum adanya alternatif pemanfaatan tenaga surya untuk pembangkit listrik (green technology), belum tertibnya sistem drainase dan pemanfaatan air sisa (grey water) dan lain-lain.
Walaupun seringkali kota Metro mendapatkan penghargaan Adipura, tetapi jika usaha green environment-nya hanya berdasarkan melaksanakan proyek semata, sehingga belum ada usaha simultan yang menggerakkan semua lini masyarakat bersama pemerintah, maka kota hijau yang diimpikan masih terwujud secara sebagian.
Kedua, green society dalam membangun kota misalnya dilihat dari stuktur internal sebuah kota; hendaknya masyarakat berperan aktif dalam kemajuan kotanya. Jika masyarakat apatis dan abai, mungkin kota akan menjadi kota yang tidak sehat. Adapun masyarakat kota yang baik adalah masyarakat yang mempunyai pendidikan yang layak, warga mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, lokalitas budaya dan sejarah yang terjaga, keamanan warga yang terlindungi, urun rembug warga untuk kebijakan kota dan lain-lain.
Pemerintah kota Metro sudah berupaya untuk menyediakan beberapa kegiatan agar masyarakat sedikit berperan mengurangi polutan seperti car free day. Namun masyarakat Metro belum seluruhnya berperan aktif dalam mensukseskan kota hijau, misal belum terbangun kesadaran warga untuk membuang sampah di tempatnya walau sudah berpendidikan, masih kerap terjadi beberapa peristiwa pembegalan atau pencurian di kota Metro, masih jarang ditemui sanggar kesenian atau pagelaran budaya di kota Metro. Sehigga perlahan, jika gerakan warga dan pemerintah dapat  bersinergi untuk membangun masyarakat yang bahagia, aman, tentram maka kelak tingkat layak huni kota Metro menjadi lebih tinggi dari saat ini.
Ketiga, green economy di kota Metro.  Selama ini pertumbuhan ekonomi hijau di Kota Metro lumayan lebih baik jika dibandingkan provinsi lain. Karena sektor ekonominya masih dapat ditolerir lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Jika ingin hal ini berkesinambungan, maka pemerintah ke depan harus berusaha keras memperketat kebijakan perizinan pembangunan sektor ekonomi dengan mempertimbangkan AMDAL bagi lingkungan sekitar. Agar degradasi lingkungan dapat dihindari sebelum kapitalisme merenggut  tatanan kota.

Dalam mewujudkan kota Metro menuju kota hijau yang layak huni, baiknya semua elemen masyarakat bergerak aktif mensukseskan hal tersebut. Membangun kesadaran bersama bahwa keberlanjutan kota ini juga untuk dipersembahkan kepada generasi mendatang.  Mau kota Metro-polutan? Tentu tidak.  Bukan?  (HSC)

Artikel pernah dipost di pojoksamber.com, direpost untuk tujuan pendidikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fieldtrip: Eksistensi atau Esensi?

5 Idioms To Use In Your Writing